Minggu, 21 Mei 2023

Tafsir Otoritatif Jaksa Agung

 

Foto: Jaksa Agung Burhanuddin, diambil dari https://antikorupsi.org/id/article/presiden-joko-widodo-harus-segera-memberhentikan-st-burhanudin-sebagai-jaksa-agung

Multitafsir, antinomi, dan kekosongan hukum, merupakan konsekuensi hukum tertulis (rule of law). Ketiga konsekuensi hukum tertulis tersebut merupakan realitas konkret yang senantiasa berkomitmen menghiasi penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini. Ketiganya ibarat oli kotor yang mengakibatkan mesin penegakan hukum terhambat dalam mencapai keadilan. Bahkan terkadang membuat penegakan hukum salah arah atau kecelakaan menuju ke ketidakadilan. Ada yang berpendapat ketiganya dengan sengaja dibentuk untuk kepentingan oknum tertentu ataupun kepentingan penguasa. Adapula yang menjadikan ketiganya sebagai makanan segar untuk menambah pundi-pundi harta dan kekayaan, bahkan memuluskan tujuan politiknya.


Pertama, multitafsir. Disebabkan karena materi pasal dalam suatu produk peraturan perudang-undangan dapat dimaknai berbeda-beda, baik secara teks maupun konteksnya, yang jauh dari makna yang sesungguhnya. Contohnya, delik penyebaran konten yang bermuatan penghinaan dalam UU ITE (sebelum adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Illegal Content dan UU KUHP), yang masih ditafsirkan beragam karena dianggap melanggar hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai hak berdemokrasi.


Kedua, antinomi, yakni pertentangan antara materi pasal dalam suatu produk per-UU yang satu dengan yang lainnya. Contohnya, apabila seorang anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan telah menikah melakukan tindak pidana, apakah kepada anak tersebut dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak atau sebaliknya dianggap sebagai subjek hukum dewasa. Hal ini mengingat antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya memiliki pengaturan yang berbeda-beda dalam memandang usia seseorang anak.


Ketiga, kekosongan hukum, yang sedikit banyaknya mengakibatkan penegakan hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya ketika Indonesia mengalami pandemi Covid-19 di sekitar tahun 2020 yang menyebabkan persidangan tidak dapat dilakukan secara langsung sebagaimana yang diatur dalam KUHAP yang masih menggunakan teknologi kawat dan belum mengakomodir persidangan dalam jaringan (virtual).


Foto: Pasal Karet Dalam UU ITE, diambil dari https://kumparan.com/kumparannews/bahaya-uu-ite-pasal-multitafsir-dan-semua-orang-bisa-terjerat-pidana-1vByarbyJpR

Meresponsif ketiga fenomena hukum tersebut maka metode penafsiran hukum (disamping konstruksi hukum) memiliki fungsi yang strategis agar penegakan hukum dan keadilan berjalan dengan benar. Sayangnya, dalam ilmu hukum sendiri terdapat beragam metode penafsiran. Penulis mencatat terdapat 23 (dua puluh tiga) metode penafsiran dalam ilmu hukum, yakni literal, gramatikal, restriktif, ekstensif, otentik, sistematik, sejarah undang-undang, historis dalam arti luas, sosio-historis, sosiologis, teleologis, holistik, tematis-sistematis, antisipatif/futuristik, evolutive-dinamis, komparatif, filosofis, interdisipliner, multidisipliner, kreatif, artistik, konstruktif, dan konversasional (Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: 290-304). Sangat beragam.


Dalam menerapkan hukum, penafsiran atau interpretasi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Hal ini secara tegas disampaikan oleh van Bemmelen dan van Hattum yang menyatakan “Eike geshreven wetgeving behoeft interpretative” yang bermakna setiap perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi (Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: 104). Dalam konteks penafsiran, terhadap satu materi pasal sangat lumrah terjadi berbagai bentuk penafsiran sesuai metode penafsiran yang digunakan maupun sesuai tujuan hukum yang ingin dicapai. Namun, demikian, tetap diperlukan kepastian tafsiran terhadap suatu materi pasal yang dinilai multitafsir. Tetap diperlukan kepastian tafsiran dalam hal terjadi antinomi hukum ataupun kekosongan hukum. Membiarkan ketiga konsekuensi aturan tertulis tersebut terjadi merupakan wujud ketidakadilan. Terlebih lagi apabila pembiaran tersebut terjadi di bidang hukum pidana yang sedikit banyaknya merampas hak asasi manusia.


Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, disamping hakim dan advokat, penuntut umum memiliki peran yang teramat penting dalam menafsirkan teks-teks hukum terhadap peristiwa hukum konkret agar ketiga konsekuensi aturan tertulis tersebut tidak terjadi. Peran penafsiran hukum oleh penuntut umum sebagai dominus litis dalam penanganan perkara pidana dibutuhkan untuk menggerakkan penegakan hukum yang seringkali terhambat karena pasal yang multitafsir, antinomi hukum, dan kekosongan hukum. Betapa tidak, pada tahap pra ajudikasi (sebelum persidangan), selain petunjuknya yang menjadi dasar penyidik melakukan penyidikan, hasil penafsiran penuntut umumlah yang menentukan apakah seseorang dapat atau tidak dilakukan penuntutan.


Penuntut umumlah yang menentukan pasal yang tepat untuk disangkakan ataupun didakwakan kepada tersangka, menentukan hukum formil yang akan diberlakukan kepada tersangka, menentukan agar tindakan yang dilakukan penyidik sesuai hukum formil, serta menentukan isi dan materi dalam berkas perkara hasil penyidikan. Mengapa demikian? Karena selain penyidikan yang dilakukan penyidik untuk kepentingan penuntutan, sebagaimana postulat actori incumbit onus probandi yang bermakna siapa yang mendakwa maka dialah yang membuktikan, penuntut umum sebagai ahli pembuktian (master of procedure) dalam perkara pidana-lah yang akan mempertanggungjawabkan hasil penyidikan sebagai hasil pra penuntutan dan dakwaannya di depan persidangan. Bahkan tersangka pun menggantungkan rasa keadilannya melalui tindakan penuntutan (termasuk pra penuntutan) yang berkeadilan oleh penuntut umum. Berhasil atau tidaknya penuntutan, adil atau tidaknya penuntutan, bermanfaat atau tidaknya penuntutan, serta benar atau tidaknya penuntutan, yang dilakukan penuntut umum, tergantung penafsiran penuntut umum dalam menterjemahkan suatu materi pasal ataupun kebutuhan penegakan hukum.


Dalam melakukan penuntutan, penuntut umum diwajibkan tidak melakukan penuntutan asal-asalan, melainkan harus mengedepankan hati nurani dan rasa humanismenya. Oleh karena itu, pengetahuan hukum menjadi hal yang terpenting dalam menafsirkan suatu materi pasal terhadap peristiwa hukum konkret yang dihadapi penuntut umum. Tidak cukup mengandalkan satu metode penafsiran, misalnya metode penafsiran gramatikal, melainkan juga metode penafsiran lainnya seperti penafsiran teleologis yang mengajak penuntut umum untuk mengetahui secara pasti maksud dan tujuan pembuat undang-undang merumuskan suatu materi pasal sehingga dicela sebagai suatu kejahatan. Interpretasi yang benar dan pasti sangat membantu penuntut umum dalam mewujudkan penuntutan yang berkeadilan dan begitupun sangat membantu para pencari keadilan agar hukum dapat diterapkan secara pasti dan adil terhadapnya.


Foto: Gedung Kejaksaan Agung, diambil dari https://news.detik.com/berita/d-6478090/ini-penampakan-hasil-pembangunan-gedung-kejagung-usai-kebakaran-2020


Oleh karena itu, pada realitas yang demikian, posisi Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Dari perspektif asas een en ondeelbaar dan asas penuntutan tunggal (single prosecution) yang mendudukkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam suatu negara, maka Jaksa Agung bertanggungjawab mengendalikan kebijakan dan pelaksanaan penuntutan di Indonesia. Negara memberikan kekuasaan penuntutan hanya kepada Jaksa Agung yang dapat mendelegasikan wewenang penuntutan yang dimilikinya kepada siapapun yang dikehendakinya (jaksa, oditur, dan penyidik (dalam tindak pidana ringan)). Oleh karena itu, sering dinyatakan bahwa penuntut umum di Indonesia hanya satu, yaitu Jaksa Agung. Adapun penuntut umum lainnya merupakan pelaksanaan delegasi wewenang penuntutan dari Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Sebagaimana asas there is not authority without responsibility yang bermakna tidak ada wewenang tanpa pertanggungjawaban, di dalam delegasi wewenang tersebut terdapat pertanggungjawaban yang wajib dilakukan oleh penerima delegasi kepada Jaksa Agung. Pelaksanaan penuntutan wajib dikoordinasikan dan dikendalikan, baik dari segi kebijakan, teknis pelaksanaan, maupun pengawasan, oleh Jaksa Agung yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaan penuntutan kepada parlemen sebagai representasi dari rakyat selaku pemilik kekuasaan.


Dalam konteks kebenaran otoritatif (kebenaran otoritatif adalah kebenaran terhadap suatu hal yang didasarkan pada pernyataan pemegang otoritas), Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi memiliki tanggungjawab untuk mengeluarkan tafsir otoritatifnya apabila terdapat materi pasal tertentu yang mengandung multitafsir atau ketidakjelasan, termasuk dalam hal terjadi antinomi hukum dan kekosongan hukum, yang mengakibatkan penegakan hukum mengalami stagnan atau hambatan atau bahkan tidak adil. Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi memiliki otoritas dan tanggungjawab untuk merumuskan kebijakan penuntutan yang menjadi guidance atau petunjuk bagi penuntut umum, penyidik, penyelidik, dan jaksa selaku eksekutor, sesuai tugas dan wewenang masing-masing, yang bertujuan untuk keberhasilan penuntutan yang mampu mewujudkan keadilan. Mengapa termasuk penyidik dan penyelidik? Karena ruang lingkup kebijakan penuntutan tidak hanya sebatas tahap penuntutan melainkan semua tahapan baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan putusan pengadilan. Ruang lingkup tersebutpun merupakan konsekuensi asas dominus litis yang menjadikan penuntut umum sebagai pemilik perkara. Bagaimanapun yang akan mempertanggungjawabkan hasil penyelidikan dan penyidikan adalah penuntut umum dipersidangan. Sehingga, pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan wajib dilaksanakan dibawah koordinasi dan pengendalian penuntut umum in casu Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.


Dalam praktiknya, Jaksa Agung telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi multitafsir, antinomi maupun kekesongan hukum. Baik dalam bentuk Peraturan, Intruksi, Pedoman, maupun Surat Edaran. Berbagai naskah dinas tersebut merupakan guidance atau petunjuk bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan yang sekaligus merupakan hasil tafsir otoritatif Jaksa Agung. Ruang lingkup tafsir otoritatif Jaksa Agung dapat berupa tafsiran terhadap pasal yang multitafsir, antinomi maupun kekesongan hukum, baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil


Begitupun dalam hal terjadi kekosongan hukum, melalui tafsir otoritatifnya, Jaksa Agung dapat membuat suatu kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif dan adil. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Jaksa Agung pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020 dengan mengisntruksikan jajarannya untuk melaksanakan persidangan termasuk penyerahan tanggungjawab tersangka dan barang bukti secara online padahal instumen hukum acara pidana in casu KUHAP belum mengatur pelaksanaan persidangan dan penyerahan tanggungjawab tersangka dan barang bukti secara online. Alhasil, melalui tafsiran otoritatif Jaksa Agung tersebut, penegakan hukum yang sempat mengalami stagnasi atau berhenti menjadi bergerak cepat untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan mewujudkan keadilan.


Namun demikian, terdapat upaya pelemahan terdapat tafsir otoritatif Jaksa Agung tersebut melalui keberadaan Surat Keputusan Bersama di bidang penegakan hukum pidana, yang dibentuk oleh pimpinan kementerian/lembaga tertentu (mereka ini yang penulis sebut sebagai penegak hukum yang tidak murni karena dalam melaksanakan tugas dan wewenang tidak secara bebas dan merdeka) dengan menarik Jaksa Agung sebagai salah satu pihaknya. Surat Keputusan Bersama sebagai perwujudan asas facta sunt servanda tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan dan kemerdekaan pelaksanaan penuntutan yang dilakukan Jaksa Agung. Sekaligus merupakan upaya yang melemahkan otoritas Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi. Sejatinya, berbagai hal yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama yang mengatur penegakan hukum pidana selama ini merupakan hal-hal yang harus diresponsif secara cepat dan dituangkan dalam bentuk produk hukum Jaksa Agung sebagai tafsir otoritatif Jaksa Agung dan tidak perlu membuat Surat Keputusan Bersama. Apabila terdapat pasal yang sering digunakan oleh penegak hukum dan multitafsir sehingga hasilnya tidak adil, maka Jaksa Agung melalui tafsir otoritatifnya dapat secara cepat memberikan kepastian hukum, baik dari makna dan cara menerapkan pasal yang multitafsir tersebut.


Bagaimana pun Jaksa Agung merupakan a man in law. Pernyataan Jaksa Agung sebagai a man in law merupakan hasil konferensi para Jaksa Agung dari berbagai negara di Seoul Korea Selatan pada bulan September tahun 1990 yang dihadiri 25 (dua puluh lima) negara se-Asia Pasifik yang bertujuan menetapkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan profesional (Muh. Ibnu Fajar Rahim, Kewenangan Kejaksaan Mewakili Pemerintah Dalam Mengajukan Permohonan Pembubaran Partai Politik Di Mahkamah Konstitusi: 222). Jaksa Agung sebagai a man in law bermakna Jaksa Agung merupakan penegak hukum yang paham dan mengerti bagaimana hukum (tertulis maupun tidak tertulis) diterapkan secara adil. Ia dianggap tahu akan hukumnya (iura novit curia) serta kaya akan pengetahuan hukum.


Hasil tafsiran otoritatif Jaksa Agung tersebut merupakan suatu kebenaran yang dapat menjadi sumber hukum bagi para penegak hukum dalam menerapkan hukum terhadap peristiwa hukum konkret. Tafsir otoritatif Jaksa Agung merupakan suatu kebutuhan hukum yang perlu diaktifkan dan difungsikan secara berkelanjutan, serta sebagai upaya untuk memperkuat kedudukan Jaksa Agung sebagai a man in law yang dengan tafsir otoritatifnya tersebut menggerakkan penegakan hukum yang stagnan atau terhambat akibat terjadinya multitafsir, antinomi, dan kekosongan hukum. Mengaktifkan dan mengfungsikan tafsir otoritatif Jaksa Agung merupakan bentuk responsifitas terhadap kebutuhan hukum masyarakat dan kebutuhan penegakan hukum yang mampu mewujudkan penegakan hukum yang humanis.


Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Tafsir Otoritatif Jaksa Agung", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.

Kamis, 18 Mei 2023

Peran Kejaksaan Di Bidang Lagu/Musik

Foto: Once Mekel dan Ahmad Dhani, diambil dari https://www.tvonenews.com/lifestyle/trend/116103-tegas-di-hadapan-ahmad-dhani-once-mekel-mengaku-tak-akan-bawakan-lagu-dewa-19-lagi


Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan tuntutan pembayaran royalty dari para komposer musik kepada para event organizer. Bahkan terhadap penyanyi. Sebut saja perseteruan antara Ahmad Dhani (personil Dewa 19) dan Once Mekel (Mantan Vokalis Dewa 19), Posan Tobing (Founder Band Kotak) dengan Personil Band Kotak saat ini (Tantri, Chua dan Sela), dan sebagainya. Berpuluh-puluh tahun bekerjasama mencari penghidupan (joint income) namun diselingi realitas yang demikian. Memang disadari bahwa permasalahan hukum di bidang musik hari ini masih jauh panggang dari api. Lantas sebagaimana judul artikel ini, bagaimana tanggungjawab seorang Jaksa Agung di Bidang Lagu/Musik? Mari kita bahas!


Secara expressive verbis, Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan menyatakan “Jaksa Agung merupakan penuntut umum tertinggi dan pengacara negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Begitupun dalam Pasal 18 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan “Jaksa Agung dengan kuasa khusus ataupun karena kedudukan dan jabatannya bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara, di bidang perdata dan tata usaha negara, serta ketatanegaraan di semua lingkungan peradilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintahan, maupun kepentingan umum”. Kedua norma tersebut mendudukkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dan Jaksa Agung sebagai pengacara negara. Apakah keduanya berbeda atau sama?


Pertama, Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Secara sederhana, norma tersebut bermakna bahwa Jaksa Agung merupakan satu-satunya pejabat yang diberikan wewenang penuntutan di Indonesia. Sebagaimana asas there is not auhotrity without responsibility maka Jaksa Agung-lah yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan penuntutan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (vide Pasal 37 ayat (2) UU Kejaksaan). Wewenang penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum lainnya (jaksa selaku penuntut umum, jaksa pada KPK, dan Oditur) merupakan delegasi dari Jaksa Agung sehingga penuntut tersebut dalam pelaksanaan penuntutan bertanggungjawab kepada Jaksa Agung. Sebagai penuntut umum tertinggi maka untuk kepentingan umum Jaksa Agung dapat menuntut siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum pidana. Makna “umum” dalam jabatan “penuntut umum” tidaklah bermakna “umum” dalam artian lex general yang kemudian melahirkan adanya penuntut “khusus” sebagai lex specialis. Melainkan, bermakna adanya kepentingan “umum” yang terlanggar atau terganggu yang kemudian menjadi dasar bagi Jaksa Agung melalui jaksa selaku penuntut “umum” untuk melakukan penuntutan.


Kedua, Jaksa Agung sebagai pengacara negara. Secara sederhana, norma tersebut bermakna bahwa Jaksa Agung sebagai satu-satunya pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai pengacara negara di Indonesia. Wewenang pengacara negara yang dimiliki oleh jaksa pengacara negara merupakan wewenang yang bersumber dari delegasi Jaksa Agung sehingga jaksa pengacara negara tersebut dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengacara negara, dilakukan Jaksa Agung untuk kepentingan negara/pemerintahan dan kepentingan umum. Pertama, kepentingan negara/pemerintahan, yakni kepentingan yang berkaitan dengan keutuhan negara, yang mencakup kedaulatan negara, kedaulatan wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Kedua, kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Ketiga, namun demikian, dalam praktiknya terdapat satu kepentingan yang dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya, yakni untuk kepentingan hukum, yaitu kepentingan yang berkaitan dengan penegakan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.


Foto: Gedung Baru Kejaksaan Agung, diambil dari https://news.detik.com/berita/d-6478090/ini-penampakan-hasil-pembangunan-gedung-kejagung-usai-kebakaran-2020

Di bidang lagu/musik, Jaksa Agung melalui jaksa selaku penuntut umum dapat menuntut pencipta lagu/musik maupun penyebarnya apabila lagu/musik tersebut memiliki muatan yang dilarang dalam hukum pidana, seperti kesusilaan, perjudian, penghinaan, komunis, ujaran kebencian, dan kejahatan lainnya. Lagu/musik tersebut tentu saja menggangu kepentingan umum, baik merugikan, memecah-belah bahkan menimbulkan permusuhan di masyarakat, sehingga dapat dicela sebagai suatu kejahatan dan oleh karenanya dapat dilakukan penuntutan.


Meskipun pelaku yang menciptakan atau menyebarkan lagu/musik yang memiliki muatan yang dilarang dalam hukum pidana tersebut telah dituntut pidana, namun masih terdapat status keperdataan dan status administratif yang dimiliki oleh si pencipta lagu yang telah dituntut pidana terhadap lagu/musik yang diciptakannya (apabila lagu/musik tersebut memiliki hak cipta). Oleh karena itu, maka terhadap lagu/musik yang memiliki muatan yang dilarang dalam hukum pidana tersebut dapat dilakukan penuntutan di bidang perdata dan/atau administrasi oleh Jaksa Agung melalui jaksa selaku pengacara negara melalui gugatan atau permohonan ke pengadilan.


Dalam artikel ini dan bagi penulis sendiri, antara penuntutan di bidang pidana maupun gugatan atau permohonan di bidang perdata atau administrasi merupakan hal yang sama karena muara dari dakwaan, gugatan ataupun permohonan, yakni adanya tuntutan yang dimintakan oleh siapa yang mendakwa/menggugat/memohon. Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Agung tidak boleh dibatasi hanya di bidang pidana melainkan bidang lainnya sepanjang untuk kepentingan negara, umum dan hukum atau yang disebut asas yurisdiksi penuntutan. Asas tersebut telah penulis uraikan secara jelas dalam buku penulis yang berjudul “Asas-asas Hukum Penuntutan”. Oleh karena itu, perspektif yang digunakan dalam artikel ini tidak membedakan antara penuntutan di bidang pidana maupun di bidang perdata atau administrasi.


Tindakan hukum di bidang administrasi dengan cara mengajukan permohonan pencabutan hak cipta sedangkan tindakan hukum di bidang perdata dengan cara mengajukan permohonan pencabutan hak keperdataan pelaku terhadap lagu/musik, serta mengajukan permohonan untuk menghapus lagu/musik yang berbentuk informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik (vide Pasal 47 UU TPKS). Bahkan untuk kepentingan pemerintah, Jaksa Agung melalui jaksa selaku pengacara negara baik melalui atau tanpa melalui surat kuasa khusus dari pemerintah, dapat melakukan penuntutan di bidang perdata dan/atau administrasi apabila hak cipta dari suatu lagu/musik didapatkan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak cipta. Hal tersebut dapat dilakukan Jaksa Agung untuk kepentingan hukum.


Berdasarkan uraian tersebut maka apabila terdapat lagu/musik yang memiliki muatan yang dilarang dalam hukum pidana ataupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak cipta, maka untuk kepentingan negara, umum, dan hukum, Jaksa Agung baik selaku penuntut umum tertinggi maupun selaku pengacara negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat melakukan penuntutan di bidang pidana, perdata atau tata usaha negara.


Kesimpulannya, meskipun sebagian besar tulisan dalam artikel ini tidak berkaitan dengan tuntutan pembayaran royalty dari para komposer musik yang menghebohkan publik akhir-akhir ini, namun artikel ini sebagai sharing information kepada para komposer musik untuk tidak menciptakan lagu/musik yang memiliki muatan yang dilarang dalam hukum pidana ataupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak cipta. Maju musik Indonesia!!!


Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Peran Kejaksaan Di Bidang Lagu/Musik", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.

Tanggung Jawab Jaksa Dalam Pengawasan Pemasyarakatan

Foto: Yasonna Laoly dan Yamitema Laoly, diambil dari https://surabaya.tribunnews.com/2023/05/02/biodata-anak-yasonna-laoly-yang-dituduh-monopoli-bisnis-di-lapas-yamitema-pernah-diperiksa-kpk

Akhir-akhir ini, publik dihebohkan dan dipertontonkan oleh kondisi Lembaga Pemasyarakat (selanjutnya disebut lapas) di Indonesia. Mulai dari sel mewah, narapidana yang kabur, narapidana yang mengendalikan peredaran gelap narkotika dari dalam lapas (tidak menutup kemungkinan tindak pidana lainnya, seperti judi, kartel, dsb), sampai dengan monopoli bisnis anak Menkumham.

Realitas tersebut merupakan hal yang wajar mengingat lapas merupakan tempat yang dapat dikatakan tertutup dari dunia luar lapas sehingga terkesan sulit untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi pemasyarakatan di lapas.

Sekaligus menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi check and balance antara penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) khususnya pada tahap pra ajudikasi belum efektif. Benarkah demikian? Pada kesempatan kali ini akan dibahas tentang sejauh manakah tanggungjawab jaksa dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemasyarakatan? Mari kita bahas!

Pasal 30 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) menyatakan “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat”. Begitupun dalam Pasal 270 KUHAP menyatakan bahwa “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut memberikan wewenang kepada jaksa sebagai satu-satunya (the only one) pelaksana putusan pengadilan di bidang pidana.

Foto: Gedung Baru Kejaksaan Agung, diambil dari https://news.detik.com/berita/d-6478090/ini-penampakan-hasil-pembangunan-gedung-kejagung-usai-kebakaran-2020

Sebagaimana asas geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban) atau zonder bevoegheid geen verantwoordelijkheid (tanpa kewenangan tanpa pertanggungjawaban), maka jaksa-lah yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan putusan pengadilan di bidang pidana kepada hakim. Sebab, hakim pasti akan memintai pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan putusan yang diputuskannya kepada jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam wewenang sebagai pelaksana putusan pengadilan terdapat fungsi pengawasan yang melekat, yakni jaksa berwenang untuk melakukan pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan agar putusan pengadilan dilaksanakan secara benar dan sebagaimana mestinya. Konsep yang sama pun terlihat ketika jaksa diberikan wewenang untuk melakukan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, yang merupakan bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan.

Pelaksanaan putusan pengadilan bersifat end to end, yakni sampai dengan putusan pengadilan selesai dijalankan oleh terpidana. Terhadap pidana mati dan seumur hidup maka ruang lingkup pelaksanaan putusan pengadilan sampai dengan terpidana telah mati. Terhadap pidana penjara/kurungan maka ruang lingkup pelaksanaan putusan pengadilan sampai dengan terpidana selesai menjalani pidana penjara/kurungan. Begitupun dengan pidana denda atau pidana tambahan uang pengganti di mana selesainya pidana tersebut sampai dengan dibayarkannya denda atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Terhadap barang bukti, yakni sampai dengan barang bukti dikembalikan kepada yang berhak dengan menyebutkan namanya atau dirampas untuk negara atau dimusnahkan. Termasuk biaya perkara.

Sayangnya, khusus untuk pidana penjara, dalam praktik pelaksanaan putusan pengadilan terbangun paradigma seolah-olah tugas jaksa selaku eksekutor selesai ketika jaksa menyerahkan terpidana ke lembaga pemasyarakatan. Praktik tersebut pun sangat terlihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) di mana sama sekali tidak mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan, bahkan hakim.

Apakah ini kesengajaan untuk mendudukkan status quo lapas yang ingin mengekslusifkan diri dalam tahapan pelaksanaan putusan pengadilan? Apabila benar demikian, maka tentu saja tidak dapat dibiarkan karena bertentangan dengan konsep sistem peradilan pidana terpadu sebagaimana dikemudikan Cavadino dan Dignan yang menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the court”. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya mencakup satu institusi, tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi negara sehingga pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum yang lain.

Struktur hukum yang terlibat dalam pelaksanaan putusan pengadilan adalah hakim, jaksa dan petugas pemasyarakatan. Hakim selaku pemilik putusan, jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan, dan petugas pemasyarakatan sebagai pelaksana fungsi pemasyarakatan. Ketiganya sepatutnya untuk melaksanakan fungsinya masing-masing pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan secara terpadu. 

Selain itu, apabila realitas tersebut tetap dipertahankan maka tentunya mendudukkan jaksa dalam posisi yang keliru dan menyulitkan. Sebab, ketika terpidana mengalami permasalahan dalam pelaksanaan putusan pengadilan, misalnya pidana penjara yang dijalani tidak sesuai dengan putusan pengadilan, pemberian cuti bersyarat-pembebasan bersyarat-remisi padahal terpidana dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak cuti bersyarat-pembebasan bersyarat-remisi. Terpidana diberikan hak cuti bersyarat-pembebasan bersyarat-remisi padahal akibat dari perbuatan terpidana berdampak besar pada kepentingan umum, pelaksanaan pemasyarakatan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan penjatuhan pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana, serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan. Maka, jaksa tidak dapat bertanggung jawab ataupun menjelaskan terjadinya praktik-praktik tersebut kepada hakim maupun dewan perwakilan rakyat selaku representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Realitas, praktik dan paradigma tersebut tentu saja memperlihatkan cara berhukum yang tidak sehat dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu.

Foto: Lapas Cianjur Sambut Kedatangan Kejari Cianjur, diambil dari https://lapascianjur.kemenkumham.go.id/berita-utama/lapas-cianjur-sambut-kunjungan-kejari


Fungsi pemasyarakatan tidak dapat dilepaskan dari fungsi jaksa selaku eksekutor dan fungsi hakim selaku pemilik putusan pengadilan. Jaksa selaku eksekutor di bidang hukum pidana-lah yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan putusan terhadap hakim. Tanggung jawab fisik tetap berada pada petugas pemasyarakatan, sedangkan tanggungjawab yuridis merupakan tanggungjawab jaksa selaku eksekutor dan hakim selaku pemilik putusan pengadilan. Meskipun berbeda tahapan, namun konsep tanggung jawab fisik dan yuridis ini pun diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (selanjutnya disebut PP Pelaksanaan KUHAP). Dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) PP Pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa “tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada Kepala RUTAN”.

Ruang lingkup tanggung jawab yuridis yang dimiliki oleh jaksa selaku eksekutor terhadap pelaksanaan fungsi pemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan terhadap terpidana adalah memastikan bahwa terpidana/narapidana yang menjadi warga binaan melaksanakan putusan pengadilan secara benar dan sebagaimana mestinya. Sehingga jaksa berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap fungsi pemasyarakatan yang dijalankan petugas pemasyarakatan terhadap warga binaan sampai dengan terpidana/narapidana yang menjadi warga binaan selesai melaksanakan putusan pengadilan.

Jaksa wajib aktif berkoordinasi (dalam periode tertentu dan pasti, seperti sekali dalam sebulan) dengan pihak lapas dalam melakukan pengawasan terhadap fungsi pemasyarakatan yang dijalankan oleh petugas pemasyarakatan terhadap terpidana/narapidana yang menjadi warga binaan. Keaktifan jaksa tersebut pun ditegaskan dalam Article 11 Guidelines on the Role of Prosecutors yang menyatakan bahwa "Prosecutors shall perform an active role in criminal proceedings, including institution of prosecution and, where authorized by law or consistent with local practice, in the investigation of crime, supervision over the legality of these investigations, supervision of the execution of court decisions and the exercise of other functions as representatives of the public interest". Dalam Guidelines on the Role of Prosecutors secara tegas menyatakan bahwa jaksa aktif melakukan supervisi terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan demikian norma pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan merupakan norma yang bersifat universal berlaku terhadap para prosecutors di beberapa negara.

Hasil pengawasan/supervisi tersebut nantinya akan dilaporkan kepada hakim yang mengeluarkan putusan. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan, terdapat 3 (tiga) struktur hukum yang memiliki fungsi yang berbeda namun pelaksanaannya dilakukan secara terpadu (check and balances) agar tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu tercapai. Bagaimanapun, ketiga struktur hukum tersebut, baik jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan diberikan wewenang dan wajib mempertanggungjawabkan wewenang yang dimilikinya tersebut. Ingat "There is no authority without responsibility. Authority without responsibility is tyranny, and responsibility without authority is impotence." (Peter Drucker).

Artikel ini telah tayang di https://kumparan.com/muh-ibnu-fajar-rahim/tanggung-jawab-jaksa-dalam-pengawasan-pemasyarakatan-20OdTLX0SQg pada tanggal 14 Mei 2023.

Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Tanggung Jawab Jaksa Dalam Pengawasan Pemasyarakatan", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.

Rabu, 03 Mei 2023

Waktu Gugurnya Permohonan Pra Peradilan

Kapankah gugurnya permohonan pra peradilan? Pertanyaan ini masih tetap eksis sampai tulisan ini dipublikasi, sekalipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan tafsiran konstitusional dengan menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP inskonstitusional bersyarat sepanjang frasa “suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Adapun yang menjadi pertanyaan pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah apakah yang dimaksud dengan sidang pertama? Ada yang berpendapat sidang pertama adalah pada saat pembacaan surat dakwaan, pada saat pemeriksaan identitas, atau pada saat hakim ketua mengetuk palu tanda sidang pertama dimulai.

Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Foto: Mahkamah Agung RI


Adapula yang tetap berpendirian bahwa gugurnya permohonan pra peradilan adalah pada saat ketua pengadilan negeri melakukan pemeriksaan terhadap berkas perkara yang dilimpahkan penuntut umum, pada saat perkara telah diregister di pengadilan negeri, atau pada saat perkara telah dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan negeri yang dibuktikan dengan tanda terima pelimpahan perkara, meskipun serangkaian pendapat tersebut telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Sangat beragam pendapat tentang gugurnya permohonan pra peradilan.

Ini membuktikan, lagi-lagi Mahkamah Konstitusi gagal menafsirkan secara komprehensif terhadap suatu norma yang multitafsir. Bahkan tafsirannya menimbulkan masalah baru dalam praktik. Contoh terakhir dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 dimana Mahkamah Konstitusi menyatakan penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan, namun tidak memberikan tafsiran perihal akibat hukum yang terjadi apabila penyidik terlambat memberikan SPDP sehingga menimbulkan masalah baru dalam praktik. Apakah penyidikan batal demi hukum sehingga harus melakukan penyidikan ulang ataukah penyidikan tetap sah dengan adanya surat perintah penyidikan yang baru yang memuat surat perintah penyidikan yang lama dan kemudian dijadikan dasar untuk membuat SPDP yang baru? Hal yang sama pun terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Belum ada satupun kesepahaman terhadap kepastian hukum kapankah gugurnya permohonan pra peradilan. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini mencoba memberikan alternatif pemikiran tentang kepastian hukum waktu gugurnya permohonan pra peradilan sembari mengingatkan Mahkamah Konstitusi untuk tidak melakukan perbuatan recidive di kemudian hari.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, Mahkamah mencoba menyelami hakikat pra peradilan dan semangat yang terkadung dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa oleh karena hakikat dari perkara permohonan pra peradilan adalah untuk menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan perlindungan hak asasi manusia dari tersangka sehingga tidaklah adil apabila ada permohonan pra peradilan yang pemeriksaanya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena perkara telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara permohonan pra peradilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dijatuhkan putusan terhadap perkara permohonan pra peradilan tersebut.

Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan, yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan pra peradilan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, demi kepastian hukum dan keadilan, perkara pra peradilan dinyatakan gugur ketika perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap perkara pokok yang dimohonkan pra peradilan. Terlihat Mahkamah mencoba membedakan antara perkara pra peradilan yang diperiksa pada saat sidang pra pradilan dengan perkara pokok yang diperiksa pada saat setelah sidang pertama dibuka. Bagaimanapun, pada hakikatnya, tidaklah boleh ada satu perkara pidana yang diperiksa secara bersamaan, yakni diperiksa di pra peradilan sekaligus juga diperiksa pada saat setelah sidang pertama. Apabila sidang pertama dimulai maka permohonan pra peradilan menjadi gugur. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut bersifat erga omnes, yakni berlaku sebagai undang-undang.

Namun, yang menjadi permasalahan kemudian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya ialah maksud norma “sidang pertama”. Apakah pada saat pembacaan surat dakwaan, pada saat pemeriksaan identitas, atau pada saat hakim ketua mengetuk palu tanda sidang pertama dimulai? Pertanyaan ini relevan dengan realitas pelaksanaan sidang virtual saat ini dimana dalam pelaksanaannya terkadang gambar atau suara tidak jelas sehingga sidang terpaksa ditunda. Begitupun ketika terdakwa (sengaja) tidak hadir sehingga pemeriksaan identitas tidak dapat dilakukan atau terdakwa belum siap dengan penasihat hukumnya sehingga surat dakwaan belum bisa dibacakan. Bahkan seringkali terjadi penuntut umum atau majelis hakim berhalangan sehingga persidangan ditunda. Lantas, apakah yang dimaksud sidang pertama itu?

Hakim Sarpin Saat Memutus Penetapan Tersangka Sebagai Objek Pra Peradilan. Foto: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan


Secara normatif, makna sidang pertama dijelaskan dalam Pasal 152 KUHAP. Dalam Pasal 152 ayat (1) KUHAP menyatakan “Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang”, sedangkan dalam Pasal 152 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa “Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan.” Dengan demikian, makna sidang pertama adalah hari sidang yang pertama kali dilaksanakan berdasarkan surat penetapan hakim. Ketika hakim menjatuhkan palu sidang sebanyak 3 (tiga) kali maka sekaligus itulah tanda kepastian hukum gugurnya pra peradilan yang dimohonkan oleh tersangka. Sebab, itulah tanda suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri.

Apabila sidang pertama tidak dapat dilaksanakan atau ditunda dengan berbagai alasan sebagaimana yang telah dijelaskan, tidaklah menghilangkan status persidangan tersebut sebagai sidang pertama. Sehingga, untuk persidangan selanjutnya bukanlah sidang pertama namun disebut sebagai sidang pertama berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (6) yang menyatakan “hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya”.

Demikianlah seharusnya Mahkamah Konstitusi memberikan tafsiran konstitusional yang komprehensif terhadap suatu norma yang dianggap inkonstitusional sehingga tidak menimbulkan masalah baru dalam praktik penegakan hukum. Pada pokoknya, masalah kepastian hukum terkait kapankah gugurnya pra peradilan harus segera dibuatkan payung hukum sehingga menjadi guidance bagi pihak-pihak yang terkait dalam penanganan perkara pidana. Terima kasih.


Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Waktu Gugurnya Permohonan Pra Peradilan", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.

Kedudukan Kepala Desa Dalam UU Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang senantiasa menarik untuk diperbincangkan karena eksistensinya yang cenderung dipelihara dan sangat disukai oleh mayoritas para penyelenggara negara di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung sampai kepada pejabat pada tingkat di pedesaan, yakni kepala desa. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas bagaimanakah kedudukan kepala desa sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor).

Foto: Pemilihan Kepala Desa

Dalam UU Tipikor, terdapat berbagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, antara lain setiap orang (orang perorangan dan korporasi), pegawai negeri, penyelenggara negara, orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, hakim, advokat, pemborong/ ahli/ penjual bahan/ pegawas/ penyerah/ penerima bahan bangunan, dan penyerah/ pengawas/ penerima penyerahan barang keperluan TNI.

Terkait dengan berbagai subjek hukum dalam UU Tipikor tersebut, ada yang berpendapat bahwa kepala desa adalah pegawai negeri. Adapula yang berpendapat kepala desa sebagai penyelenggara negara atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu. Setidaknya, terkait kedudukan kepala desa, ketiga subjek hukum tersebut yang senantiasa dikaitkan dengan kedudukan kepala desa. Mari kita bahas satu per satu.

Pertama, pegawai negeri. Secara normatif, Pasal 1 angka 2 UU Tipikor menyatakan bahwa “Pengawai negeri meliputi: a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; b) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c) orang yang menerima gaji atau upah dari keuang negara atau daerah; d) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat”. Pertama, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian dimana Undang-undang kepegawaian telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Pasal 1 angka 1, 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjelaskan bahwa:

a) Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

b) Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c) Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

d) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.

Kedua, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Dalam Pasal 92 KUHP mengatur:

a) Yang dimaksud pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah, begitu juga semua anggota Dewan Subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepada golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan yang sah;

b) Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama;

c) Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.

Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Sumber penghasilan atau penerimaan subjek hukum yang berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah, terdiri dari:

a) Orang yang menerima gaji atau upah yang pembayarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

b) Orang yang menerima gaji atau upah yang pembayarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Keempat, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, terdiri dari:

a) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

b) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan daerah/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD).

Kelima, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf e yang dimaksud dengan pegawai negeri terdiri dari:

a) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara;

b) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari masyarakat.

Yang dimaksud dengan “modal” di dalam ketentuan tersebut, tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk selain uang, baik untuk korporasi yang berbentuk badan hukum, maupun untuk korporasi yang belum berbentuk badan hukum. Sedangkan, yang dimaksud dengan “fasilitas”, menurut penjelasan umum UU 31/1999 jo. UU 20/2001 adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya pemberian izin yang eksklusif termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, penyelenggara negara. Secara sistematis, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme menyatakan bahwa “Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, antara lain: a) Presiden dan Wakil Presiden; b) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah; e) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; f) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; g) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial; i) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j) Menteri dan jabatan setingkat menteri; k) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l) Gubernur dan Wakil Gubernur; m) Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; n) Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; o) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; p) Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; q) Jaksa; r) Penyidik; s) Panitera Pengadilan; t) Pemimpin dan Bendaharawan Proyek; u) Pejabat Pembuat Komitmen; v) Panitia Pengadaan dan Panitia Penerima Barang; dan w) Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Kades Cibuntu Ditangkap Jaksa Kejari Kabupaten Bekasi karena Pungli PTSL. Foto: Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi


Ketiga, orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu. Adapun yang dimaksud subjek hukum ini, yakni seseorang yang diangkat dalam jabatan umum/publik untuk periode waktu tertentu ataupun secara terus menerus. Jabatan umum/publik yang dimaksud bermakna bawah tugas dan kewajiban dari seseorang tersebut di bidang pelayanan umum/publik. Dengan demikian, pengertian subjek hukum ini sangat luas, karena mencakup semua penyelenggara negara maupun pegawai kontrak, pegawai tidak tetap, ataupun pegawai dengan perjanjian kerja waktu tertentu yang melaksanakan pekerjaan di bidang pelayanan umum/publik. Mengapa penyelenggara negara dimaksud dalam subjek hukum ini? Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa jabatan penyelenggara negara yang masa penugasannya dalam periode waktu tertentu (Presiden, dst) ataupun secara terus menerus (Hakim, dst).

Berdasarkan ketiga penjelasan tentang subjek hukum dalam UU Tipikor tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan kepala desa adalah sebagai penyelenggara negara. Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disebut UU 6/2014) sebagaimana telah diubah dengan Pasal 117 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) menyatakan bahwa “Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Lebih lanjut, Pasal 1 ayat 2 UU 6/2014 jo. Pasal 117 angka 1 UU 11/2020 menyatakan “Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa”. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU 6/2014 menyatakan bahwa “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”. Dengan demikian, pemerintahan desa merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga kepala desa sebagai kepala pemerintah desa yang bertugas untuk menyelenggarakan pemerintahan desa merupakan penyelenggara negara.

Kedua, kepala desa merupakan jabatan pemerintahan yang menjalankan fungsi eksekutif dalam penyelenggaraan negara in casu penyelenggaraan urusan pemerintahan desa sehingga merupakan penyelenggara negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 28/1999.

Ketiga, meskipun kepala desa memenuhi kriteria sebagai pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 KUHP, yakni seseorang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan UU6/2014, dan pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf (c) UU 31/1999 jo. UU 20/2001, yakni seseorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah (APBDes dan ADD yang berasal dari pemerintah), namun seorang kepala desa memiliki masa jabatan yang pendek dipilih hanya dalam periode tertentu yang berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya yang memiliki masa jabatan berdasarkan usia pensiun, sehingga kepala desa memiliki karakteristik yang berbeda dengan pegawai negeri.

Keempat, kepala desa juga termasuk dalam “orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum”, yakni sebagai penyelenggara negara.

Oleh karena itu, lebih tepat kepala desa didudukkan sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan UU Tipikor, yakni sebagai penyelenggara negara atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, yang menjalankan fungsi eksekutif in casu penyelenggaraan urusan pemerintahan desa sebagai bagian dari sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Ini merupakan suatu pendapat yang sering penulis nyatakan ketika memberikan keterangan sebagai ahli hukum pidana dalam proses peradilan.


Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Kedudukan Kepala Desa Dalam UU Tindak Pidana Korupsi", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.