Minggu, 21 Mei 2023

Tafsir Otoritatif Jaksa Agung

 

Foto: Jaksa Agung Burhanuddin, diambil dari https://antikorupsi.org/id/article/presiden-joko-widodo-harus-segera-memberhentikan-st-burhanudin-sebagai-jaksa-agung

Multitafsir, antinomi, dan kekosongan hukum, merupakan konsekuensi hukum tertulis (rule of law). Ketiga konsekuensi hukum tertulis tersebut merupakan realitas konkret yang senantiasa berkomitmen menghiasi penegakan hukum di Indonesia sampai saat ini. Ketiganya ibarat oli kotor yang mengakibatkan mesin penegakan hukum terhambat dalam mencapai keadilan. Bahkan terkadang membuat penegakan hukum salah arah atau kecelakaan menuju ke ketidakadilan. Ada yang berpendapat ketiganya dengan sengaja dibentuk untuk kepentingan oknum tertentu ataupun kepentingan penguasa. Adapula yang menjadikan ketiganya sebagai makanan segar untuk menambah pundi-pundi harta dan kekayaan, bahkan memuluskan tujuan politiknya.


Pertama, multitafsir. Disebabkan karena materi pasal dalam suatu produk peraturan perudang-undangan dapat dimaknai berbeda-beda, baik secara teks maupun konteksnya, yang jauh dari makna yang sesungguhnya. Contohnya, delik penyebaran konten yang bermuatan penghinaan dalam UU ITE (sebelum adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Illegal Content dan UU KUHP), yang masih ditafsirkan beragam karena dianggap melanggar hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai hak berdemokrasi.


Kedua, antinomi, yakni pertentangan antara materi pasal dalam suatu produk per-UU yang satu dengan yang lainnya. Contohnya, apabila seorang anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan telah menikah melakukan tindak pidana, apakah kepada anak tersebut dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak atau sebaliknya dianggap sebagai subjek hukum dewasa. Hal ini mengingat antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya memiliki pengaturan yang berbeda-beda dalam memandang usia seseorang anak.


Ketiga, kekosongan hukum, yang sedikit banyaknya mengakibatkan penegakan hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya ketika Indonesia mengalami pandemi Covid-19 di sekitar tahun 2020 yang menyebabkan persidangan tidak dapat dilakukan secara langsung sebagaimana yang diatur dalam KUHAP yang masih menggunakan teknologi kawat dan belum mengakomodir persidangan dalam jaringan (virtual).


Foto: Pasal Karet Dalam UU ITE, diambil dari https://kumparan.com/kumparannews/bahaya-uu-ite-pasal-multitafsir-dan-semua-orang-bisa-terjerat-pidana-1vByarbyJpR

Meresponsif ketiga fenomena hukum tersebut maka metode penafsiran hukum (disamping konstruksi hukum) memiliki fungsi yang strategis agar penegakan hukum dan keadilan berjalan dengan benar. Sayangnya, dalam ilmu hukum sendiri terdapat beragam metode penafsiran. Penulis mencatat terdapat 23 (dua puluh tiga) metode penafsiran dalam ilmu hukum, yakni literal, gramatikal, restriktif, ekstensif, otentik, sistematik, sejarah undang-undang, historis dalam arti luas, sosio-historis, sosiologis, teleologis, holistik, tematis-sistematis, antisipatif/futuristik, evolutive-dinamis, komparatif, filosofis, interdisipliner, multidisipliner, kreatif, artistik, konstruktif, dan konversasional (Jimmly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: 290-304). Sangat beragam.


Dalam menerapkan hukum, penafsiran atau interpretasi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Hal ini secara tegas disampaikan oleh van Bemmelen dan van Hattum yang menyatakan “Eike geshreven wetgeving behoeft interpretative” yang bermakna setiap perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi (Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: 104). Dalam konteks penafsiran, terhadap satu materi pasal sangat lumrah terjadi berbagai bentuk penafsiran sesuai metode penafsiran yang digunakan maupun sesuai tujuan hukum yang ingin dicapai. Namun, demikian, tetap diperlukan kepastian tafsiran terhadap suatu materi pasal yang dinilai multitafsir. Tetap diperlukan kepastian tafsiran dalam hal terjadi antinomi hukum ataupun kekosongan hukum. Membiarkan ketiga konsekuensi aturan tertulis tersebut terjadi merupakan wujud ketidakadilan. Terlebih lagi apabila pembiaran tersebut terjadi di bidang hukum pidana yang sedikit banyaknya merampas hak asasi manusia.


Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu, disamping hakim dan advokat, penuntut umum memiliki peran yang teramat penting dalam menafsirkan teks-teks hukum terhadap peristiwa hukum konkret agar ketiga konsekuensi aturan tertulis tersebut tidak terjadi. Peran penafsiran hukum oleh penuntut umum sebagai dominus litis dalam penanganan perkara pidana dibutuhkan untuk menggerakkan penegakan hukum yang seringkali terhambat karena pasal yang multitafsir, antinomi hukum, dan kekosongan hukum. Betapa tidak, pada tahap pra ajudikasi (sebelum persidangan), selain petunjuknya yang menjadi dasar penyidik melakukan penyidikan, hasil penafsiran penuntut umumlah yang menentukan apakah seseorang dapat atau tidak dilakukan penuntutan.


Penuntut umumlah yang menentukan pasal yang tepat untuk disangkakan ataupun didakwakan kepada tersangka, menentukan hukum formil yang akan diberlakukan kepada tersangka, menentukan agar tindakan yang dilakukan penyidik sesuai hukum formil, serta menentukan isi dan materi dalam berkas perkara hasil penyidikan. Mengapa demikian? Karena selain penyidikan yang dilakukan penyidik untuk kepentingan penuntutan, sebagaimana postulat actori incumbit onus probandi yang bermakna siapa yang mendakwa maka dialah yang membuktikan, penuntut umum sebagai ahli pembuktian (master of procedure) dalam perkara pidana-lah yang akan mempertanggungjawabkan hasil penyidikan sebagai hasil pra penuntutan dan dakwaannya di depan persidangan. Bahkan tersangka pun menggantungkan rasa keadilannya melalui tindakan penuntutan (termasuk pra penuntutan) yang berkeadilan oleh penuntut umum. Berhasil atau tidaknya penuntutan, adil atau tidaknya penuntutan, bermanfaat atau tidaknya penuntutan, serta benar atau tidaknya penuntutan, yang dilakukan penuntut umum, tergantung penafsiran penuntut umum dalam menterjemahkan suatu materi pasal ataupun kebutuhan penegakan hukum.


Dalam melakukan penuntutan, penuntut umum diwajibkan tidak melakukan penuntutan asal-asalan, melainkan harus mengedepankan hati nurani dan rasa humanismenya. Oleh karena itu, pengetahuan hukum menjadi hal yang terpenting dalam menafsirkan suatu materi pasal terhadap peristiwa hukum konkret yang dihadapi penuntut umum. Tidak cukup mengandalkan satu metode penafsiran, misalnya metode penafsiran gramatikal, melainkan juga metode penafsiran lainnya seperti penafsiran teleologis yang mengajak penuntut umum untuk mengetahui secara pasti maksud dan tujuan pembuat undang-undang merumuskan suatu materi pasal sehingga dicela sebagai suatu kejahatan. Interpretasi yang benar dan pasti sangat membantu penuntut umum dalam mewujudkan penuntutan yang berkeadilan dan begitupun sangat membantu para pencari keadilan agar hukum dapat diterapkan secara pasti dan adil terhadapnya.


Foto: Gedung Kejaksaan Agung, diambil dari https://news.detik.com/berita/d-6478090/ini-penampakan-hasil-pembangunan-gedung-kejagung-usai-kebakaran-2020


Oleh karena itu, pada realitas yang demikian, posisi Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Dari perspektif asas een en ondeelbaar dan asas penuntutan tunggal (single prosecution) yang mendudukkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam suatu negara, maka Jaksa Agung bertanggungjawab mengendalikan kebijakan dan pelaksanaan penuntutan di Indonesia. Negara memberikan kekuasaan penuntutan hanya kepada Jaksa Agung yang dapat mendelegasikan wewenang penuntutan yang dimilikinya kepada siapapun yang dikehendakinya (jaksa, oditur, dan penyidik (dalam tindak pidana ringan)). Oleh karena itu, sering dinyatakan bahwa penuntut umum di Indonesia hanya satu, yaitu Jaksa Agung. Adapun penuntut umum lainnya merupakan pelaksanaan delegasi wewenang penuntutan dari Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Sebagaimana asas there is not authority without responsibility yang bermakna tidak ada wewenang tanpa pertanggungjawaban, di dalam delegasi wewenang tersebut terdapat pertanggungjawaban yang wajib dilakukan oleh penerima delegasi kepada Jaksa Agung. Pelaksanaan penuntutan wajib dikoordinasikan dan dikendalikan, baik dari segi kebijakan, teknis pelaksanaan, maupun pengawasan, oleh Jaksa Agung yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan kekuasaan penuntutan kepada parlemen sebagai representasi dari rakyat selaku pemilik kekuasaan.


Dalam konteks kebenaran otoritatif (kebenaran otoritatif adalah kebenaran terhadap suatu hal yang didasarkan pada pernyataan pemegang otoritas), Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi memiliki tanggungjawab untuk mengeluarkan tafsir otoritatifnya apabila terdapat materi pasal tertentu yang mengandung multitafsir atau ketidakjelasan, termasuk dalam hal terjadi antinomi hukum dan kekosongan hukum, yang mengakibatkan penegakan hukum mengalami stagnan atau hambatan atau bahkan tidak adil. Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi memiliki otoritas dan tanggungjawab untuk merumuskan kebijakan penuntutan yang menjadi guidance atau petunjuk bagi penuntut umum, penyidik, penyelidik, dan jaksa selaku eksekutor, sesuai tugas dan wewenang masing-masing, yang bertujuan untuk keberhasilan penuntutan yang mampu mewujudkan keadilan. Mengapa termasuk penyidik dan penyelidik? Karena ruang lingkup kebijakan penuntutan tidak hanya sebatas tahap penuntutan melainkan semua tahapan baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan putusan pengadilan. Ruang lingkup tersebutpun merupakan konsekuensi asas dominus litis yang menjadikan penuntut umum sebagai pemilik perkara. Bagaimanapun yang akan mempertanggungjawabkan hasil penyelidikan dan penyidikan adalah penuntut umum dipersidangan. Sehingga, pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan wajib dilaksanakan dibawah koordinasi dan pengendalian penuntut umum in casu Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.


Dalam praktiknya, Jaksa Agung telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi multitafsir, antinomi maupun kekesongan hukum. Baik dalam bentuk Peraturan, Intruksi, Pedoman, maupun Surat Edaran. Berbagai naskah dinas tersebut merupakan guidance atau petunjuk bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan yang sekaligus merupakan hasil tafsir otoritatif Jaksa Agung. Ruang lingkup tafsir otoritatif Jaksa Agung dapat berupa tafsiran terhadap pasal yang multitafsir, antinomi maupun kekesongan hukum, baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil


Begitupun dalam hal terjadi kekosongan hukum, melalui tafsir otoritatifnya, Jaksa Agung dapat membuat suatu kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum sehingga penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif dan adil. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Jaksa Agung pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020 dengan mengisntruksikan jajarannya untuk melaksanakan persidangan termasuk penyerahan tanggungjawab tersangka dan barang bukti secara online padahal instumen hukum acara pidana in casu KUHAP belum mengatur pelaksanaan persidangan dan penyerahan tanggungjawab tersangka dan barang bukti secara online. Alhasil, melalui tafsiran otoritatif Jaksa Agung tersebut, penegakan hukum yang sempat mengalami stagnasi atau berhenti menjadi bergerak cepat untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan mewujudkan keadilan.


Namun demikian, terdapat upaya pelemahan terdapat tafsir otoritatif Jaksa Agung tersebut melalui keberadaan Surat Keputusan Bersama di bidang penegakan hukum pidana, yang dibentuk oleh pimpinan kementerian/lembaga tertentu (mereka ini yang penulis sebut sebagai penegak hukum yang tidak murni karena dalam melaksanakan tugas dan wewenang tidak secara bebas dan merdeka) dengan menarik Jaksa Agung sebagai salah satu pihaknya. Surat Keputusan Bersama sebagai perwujudan asas facta sunt servanda tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan dan kemerdekaan pelaksanaan penuntutan yang dilakukan Jaksa Agung. Sekaligus merupakan upaya yang melemahkan otoritas Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi. Sejatinya, berbagai hal yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama yang mengatur penegakan hukum pidana selama ini merupakan hal-hal yang harus diresponsif secara cepat dan dituangkan dalam bentuk produk hukum Jaksa Agung sebagai tafsir otoritatif Jaksa Agung dan tidak perlu membuat Surat Keputusan Bersama. Apabila terdapat pasal yang sering digunakan oleh penegak hukum dan multitafsir sehingga hasilnya tidak adil, maka Jaksa Agung melalui tafsir otoritatifnya dapat secara cepat memberikan kepastian hukum, baik dari makna dan cara menerapkan pasal yang multitafsir tersebut.


Bagaimana pun Jaksa Agung merupakan a man in law. Pernyataan Jaksa Agung sebagai a man in law merupakan hasil konferensi para Jaksa Agung dari berbagai negara di Seoul Korea Selatan pada bulan September tahun 1990 yang dihadiri 25 (dua puluh lima) negara se-Asia Pasifik yang bertujuan menetapkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan profesional (Muh. Ibnu Fajar Rahim, Kewenangan Kejaksaan Mewakili Pemerintah Dalam Mengajukan Permohonan Pembubaran Partai Politik Di Mahkamah Konstitusi: 222). Jaksa Agung sebagai a man in law bermakna Jaksa Agung merupakan penegak hukum yang paham dan mengerti bagaimana hukum (tertulis maupun tidak tertulis) diterapkan secara adil. Ia dianggap tahu akan hukumnya (iura novit curia) serta kaya akan pengetahuan hukum.


Hasil tafsiran otoritatif Jaksa Agung tersebut merupakan suatu kebenaran yang dapat menjadi sumber hukum bagi para penegak hukum dalam menerapkan hukum terhadap peristiwa hukum konkret. Tafsir otoritatif Jaksa Agung merupakan suatu kebutuhan hukum yang perlu diaktifkan dan difungsikan secara berkelanjutan, serta sebagai upaya untuk memperkuat kedudukan Jaksa Agung sebagai a man in law yang dengan tafsir otoritatifnya tersebut menggerakkan penegakan hukum yang stagnan atau terhambat akibat terjadinya multitafsir, antinomi, dan kekosongan hukum. Mengaktifkan dan mengfungsikan tafsir otoritatif Jaksa Agung merupakan bentuk responsifitas terhadap kebutuhan hukum masyarakat dan kebutuhan penegakan hukum yang mampu mewujudkan penegakan hukum yang humanis.


Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Tafsir Otoritatif Jaksa Agung", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.

0 comments:

Posting Komentar