Rabu, 03 Mei 2023

Kedudukan Kepala Desa Dalam UU Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang senantiasa menarik untuk diperbincangkan karena eksistensinya yang cenderung dipelihara dan sangat disukai oleh mayoritas para penyelenggara negara di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung sampai kepada pejabat pada tingkat di pedesaan, yakni kepala desa. Pada kesempatan ini, penulis akan membahas bagaimanakah kedudukan kepala desa sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor).

Foto: Pemilihan Kepala Desa

Dalam UU Tipikor, terdapat berbagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, antara lain setiap orang (orang perorangan dan korporasi), pegawai negeri, penyelenggara negara, orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, hakim, advokat, pemborong/ ahli/ penjual bahan/ pegawas/ penyerah/ penerima bahan bangunan, dan penyerah/ pengawas/ penerima penyerahan barang keperluan TNI.

Terkait dengan berbagai subjek hukum dalam UU Tipikor tersebut, ada yang berpendapat bahwa kepala desa adalah pegawai negeri. Adapula yang berpendapat kepala desa sebagai penyelenggara negara atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu. Setidaknya, terkait kedudukan kepala desa, ketiga subjek hukum tersebut yang senantiasa dikaitkan dengan kedudukan kepala desa. Mari kita bahas satu per satu.

Pertama, pegawai negeri. Secara normatif, Pasal 1 angka 2 UU Tipikor menyatakan bahwa “Pengawai negeri meliputi: a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; b) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c) orang yang menerima gaji atau upah dari keuang negara atau daerah; d) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat”. Pertama, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian dimana Undang-undang kepegawaian telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Pasal 1 angka 1, 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjelaskan bahwa:

a) Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

b) Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c) Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

d) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.

Kedua, pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Dalam Pasal 92 KUHP mengatur:

a) Yang dimaksud pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah, begitu juga semua anggota Dewan Subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepada golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan yang sah;

b) Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama;

c) Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat.

Ketiga, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Sumber penghasilan atau penerimaan subjek hukum yang berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah, terdiri dari:

a) Orang yang menerima gaji atau upah yang pembayarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

b) Orang yang menerima gaji atau upah yang pembayarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Keempat, orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, terdiri dari:

a) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

b) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan daerah/Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD).

Kelima, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Ketentuan Pasal 1 angka 2 huruf e yang dimaksud dengan pegawai negeri terdiri dari:

a) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara;

b) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari masyarakat.

Yang dimaksud dengan “modal” di dalam ketentuan tersebut, tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk selain uang, baik untuk korporasi yang berbentuk badan hukum, maupun untuk korporasi yang belum berbentuk badan hukum. Sedangkan, yang dimaksud dengan “fasilitas”, menurut penjelasan umum UU 31/1999 jo. UU 20/2001 adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya pemberian izin yang eksklusif termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, penyelenggara negara. Secara sistematis, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme menyatakan bahwa “Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, antara lain: a) Presiden dan Wakil Presiden; b) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah; e) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; f) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi; g) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial; i) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j) Menteri dan jabatan setingkat menteri; k) Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l) Gubernur dan Wakil Gubernur; m) Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; n) Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; o) Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; p) Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; q) Jaksa; r) Penyidik; s) Panitera Pengadilan; t) Pemimpin dan Bendaharawan Proyek; u) Pejabat Pembuat Komitmen; v) Panitia Pengadaan dan Panitia Penerima Barang; dan w) Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Kades Cibuntu Ditangkap Jaksa Kejari Kabupaten Bekasi karena Pungli PTSL. Foto: Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi


Ketiga, orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu. Adapun yang dimaksud subjek hukum ini, yakni seseorang yang diangkat dalam jabatan umum/publik untuk periode waktu tertentu ataupun secara terus menerus. Jabatan umum/publik yang dimaksud bermakna bawah tugas dan kewajiban dari seseorang tersebut di bidang pelayanan umum/publik. Dengan demikian, pengertian subjek hukum ini sangat luas, karena mencakup semua penyelenggara negara maupun pegawai kontrak, pegawai tidak tetap, ataupun pegawai dengan perjanjian kerja waktu tertentu yang melaksanakan pekerjaan di bidang pelayanan umum/publik. Mengapa penyelenggara negara dimaksud dalam subjek hukum ini? Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa jabatan penyelenggara negara yang masa penugasannya dalam periode waktu tertentu (Presiden, dst) ataupun secara terus menerus (Hakim, dst).

Berdasarkan ketiga penjelasan tentang subjek hukum dalam UU Tipikor tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan kepala desa adalah sebagai penyelenggara negara. Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disebut UU 6/2014) sebagaimana telah diubah dengan Pasal 117 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) menyatakan bahwa “Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Lebih lanjut, Pasal 1 ayat 2 UU 6/2014 jo. Pasal 117 angka 1 UU 11/2020 menyatakan “Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa”. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU 6/2014 menyatakan bahwa “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”. Dengan demikian, pemerintahan desa merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga kepala desa sebagai kepala pemerintah desa yang bertugas untuk menyelenggarakan pemerintahan desa merupakan penyelenggara negara.

Kedua, kepala desa merupakan jabatan pemerintahan yang menjalankan fungsi eksekutif dalam penyelenggaraan negara in casu penyelenggaraan urusan pemerintahan desa sehingga merupakan penyelenggara negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 28/1999.

Ketiga, meskipun kepala desa memenuhi kriteria sebagai pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 KUHP, yakni seseorang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan UU6/2014, dan pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf (c) UU 31/1999 jo. UU 20/2001, yakni seseorang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah (APBDes dan ADD yang berasal dari pemerintah), namun seorang kepala desa memiliki masa jabatan yang pendek dipilih hanya dalam periode tertentu yang berbeda dengan pegawai negeri pada umumnya yang memiliki masa jabatan berdasarkan usia pensiun, sehingga kepala desa memiliki karakteristik yang berbeda dengan pegawai negeri.

Keempat, kepala desa juga termasuk dalam “orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum”, yakni sebagai penyelenggara negara.

Oleh karena itu, lebih tepat kepala desa didudukkan sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan UU Tipikor, yakni sebagai penyelenggara negara atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, yang menjalankan fungsi eksekutif in casu penyelenggaraan urusan pemerintahan desa sebagai bagian dari sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Ini merupakan suatu pendapat yang sering penulis nyatakan ketika memberikan keterangan sebagai ahli hukum pidana dalam proses peradilan.


Citation (cara mengutip):

Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Kedudukan Kepala Desa Dalam UU Tindak Pidana Korupsi", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.

0 comments:

Posting Komentar