Pengantar
Para akademisi dan praktisi hukum tentunya mengetahui
siapakah yang berhak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016. Yes,
putusan MK tersebut membatasi upaya hukum PK hanya dapat digunakan oleh
terpidana dan ahli warisnya dan sekaligus menghilangkan kewenangan jaksa dalam
mengajukan PK. Putusan MK tersebut merupakan putusan final dan mengikat serta
bersifat erga omnes yaitu berlaku sebagai undang-undang.
Putusan
MK ini memang mengguncangkan praktik penegakan hukum di tanah air. Karena,
dalam praktiknya, sebelum putusan MK, Mahkamah Agung (MA) pernah menerima
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas
dan MA dalam putusan peninjauan kembalinya menerima permohonan jaksa dan
menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagai berikut:
- Perkara Muchtar Pakpahan melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor:
55PK/PID/1996 tanggal 25 Oktober 1996. Majelis PK membatalkan putusan MA yang
membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
- Perkara Ram Gulumal alias V. Ram atau The Gandhi Memorial School
melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 3PK/PID/2001 tanggal 2 Agustus 2001.
Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan
pidana penjara 20 (dua puluh) hari.
- Perkara Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih melalui Putusan
Peninjauan Kembali Nomor: 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006. Majelis PK
membatalkan putusan MA yang memutus perbuatan terdakwa onslaught dan
menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
- Perkara Pollycarpus Budihari Priyanto melalui Putusan Peninjauan
Kembali Nomor: 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008. Majelis PK membatalkan
putusan MA yang menghukum terdakwa 14 tahun penjara menjadi 20 tahun penjara.
- Perkara Syahril Sabirin melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor:
07PK/Pid.Sus/2009 tanggal 8 Juni 2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang
membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2
(dua) tahun penjara.
- Perkara Joko Soegiarto Tjandra melalui Putusan Peninjauan Kembali
Nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009. Majelis PK membatalkan putusan
MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama
2 (dua) tahun penjara.
- Perkara Nyau Saodak melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor:
41PK/Pid/2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan
menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
Selain
itu, terdapat beberapa putusan pidana yang bersifat non
executable atau tidak dapat dilaksanakan karena terdapat kekeliruan
dalam amar putusan baik keliru mengenai penjatuhan pidana dan barang bukti
sehingga menjadikan seorang jaksa selaku eksekutor tidak dapat menjalankan
putusan pidana. Contohnya dalam perkara terdakwa atas nama LIAN JUNMING di
Kejaksaan Negeri Merauke sebagaimana dalam Putusan MA Nomor: 407K/PID.SUS/2016
jo. Putusan PT Jayapura Nomor: 69/Pid.Sus-Prk/2015/PT.JAP jo. Putusan PN
Merauke Nomor: 4/Pid.Sus-Prk/2015/PN.Mrk. Dalam amar tuntutan maupun putusan PN
mengenai barang bukti yang seharusnya ditulis hasil tangkapan ikan ± 45.000 kg
yang sudah dilelang dengan hasil bersih lelang sebesar Rp646.065.000,00
dirampas untuk negara, sayangnya dalam Putusan PT dan MA ditulis hasil
tangkapan ikan ± 90.000 kg yang sudah dilelang dengan hasil bersih lelang
sebesar Rp1.472.940.000,00 dirampas untuk negara. Hal ini menyebabkan temuan
BPK sehingga Jaksa harus menyetor kekurangan sebesar Rp826.975.000,00.
Realitas ini memperlihatkan terdapat stagnasi atau kebuntutan dalam proses
peradilan dan menempatkan jaksa dalam posisi yang dirugikan karena tidak dapat
melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) atau melakukan penyelesaian perkara
akibat putusan MK tersebut. Oleh karena perlu dilakukan eksaminasi terhadap
putusan MK tersebut yang berangkat dari beberapa pertanyaan: 1) apakah putusan
MK tersebut sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat? 2) apakah putusan MK
dapat tidak dilaksanakan? Mari kita bahas satu per-satu.
Menghidupkan Kembali Norma yang Telah Dibatalkan Mahkamah Konstitusi
Terdapat hierarki dalam unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu 1) Nilai-nilai hukum; 2) Asas hukum; 3) Norma hukum;
dan 4) Peraturan hukum konkret. Dalam memaknai unsur-unsur hukum tersebut harus
secara gradual yakni apabila semakin ke atas maka semakin abstrak sedangkan
semakin ke bawah maka semakin konkret. Peraturan perundang-undangan yang baik
adalah yang di dalamya terdapat nilai (value), asas (principle),
dan norma. Peraturan perundang-undangan sebagai unsur yang paling bawah dapat
saja berubah apabila nilai-nilai yang hidup di masyarakat berubah. Hal ini
menjadi logis karena hukum yang baik adalah yang sesuai dengan nilai-nilai yang
hidup di masyarakat.
Putusan
MK berlaku sebagai sumber hukum dan bersifat erga omnes seperti
undang-undang. Oleh karena putusan MK bersifat erga omnes sebagai
undang-undang maka putusan yang diambil terikat dengan nilai-nilai yang dianut
masyarakat atau kondisi sosial (wissen sociology) pada saat putusan
diambil. Nilai-nilai tersebut mencakup sistem politik, kebutuhan hukum para
penegak hukum, dsb. Pada saat putusan diambil. Apabila nilai-nilai yang hidup
di masyarakat berubah maka putusan MK dapat menjadi tidak relevan. Sehingga,
dalam konteks hukum progresif, putusan MK-lah yang harus diubah bukannya
masyarakat yang harus dipaksa untuk mengikuti putusan MK yang dinilai tidak
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Karena sesungguhnya hukum untuk
manusia bukan sebaliknya.
Lebih
lanjut kaitannya dengan PK, disadari bahwa putusan MK telah membatasi upaya
hukum PK hanya dapat digunakan oleh terpidana dan ahli warisnya. Adapun Majelis
Hakim Konstitusi dalam memutuskan hal yang demikian menggunakan penafsiran
historis dan teleologis di mana Majelis Hakim Konstitusi menyebutkan bahwa
pranata PK diadopsi semata-mata untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya
dan hal tersebut merupakan esensi dari lembaga PK. Penafsiran historis melihat
dari aspek kesejarahan sehingga suatu norma diatur sedangkan penafsiran
teleologis melihat dari tujuan dibuatnya suatu norma. Hal inilah yang kemudian
menjadi kelemahan kedua penafsiran tersebut, karena baik penafsiran historis
maupun penafsiran teleologis dibatasi oleh kondisi sosial (wissen sociology)
pada saat norma dibuat. Tentu saja sedikit banyaknya akan berbeda dengan
kondisi, situasi, dan kebutuhan hukum dan masyarakat di masa depan. Dari aspek
pembentukan hukum, terdapat potensi hukum terikat dengan ruang dan waktu.
Singkatnya, hukum pada masa lalu adalah untuk kondisi pada masa lalu sedangkan
hukum pada masa kini dibuat untuk kebutuhan pada saat ini.
Hal ini menjadikan pembuat undang-undang (legislative) dalam membuat
undang-undang misalnya dalam RUU KUHAP ataupun RUU Kejaksaan dapat saja tidak
menindaklanjuti putusan MK apabila terdapat kebutuhan hukum dan perkembangan
masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat putusan MK diambil.
Kebutuhan Hukum (Legal Necesety) Pengaturan Kewenangan
Jaksa Dalam Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Sebagaimana
yang disebutkan sebelumnya bahwa putusan MK dapat diingkari oleh pembentuk
undang-undang apabila kebutuhan hukum (legal necesety) dan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat menghendaki perubahan aturan hukum. Pengaturan kembali
kewenangan Jaksa dalam mengajukan upaya hukum PK bukanlah tanpa dasar
argumentasi yang jelas melainkan berdasarkan argumentasi hukum yang disusun
berdasarkan asas hukum, yurispuridensi, dan praktik hukum saat ini.
Pertama,
asas hukum. Terdapat 3 (tiga) asas hukum yang setidaknya menjadi landas pijak
bagi jaksa wajib melakukan upaya hukum peninjauan kembali, yakni asas equality
before the law, jusctice denied justice delayed, dan litis
finiri oportes. Asas equality before the law menghendaki
agar kedudukan dan akses keadilan antara pelaku tindak pidana dan korban tindak
pidana mendapatkan perlakuan yang sama di depan pengadilan. Apabila pelaku
tindak pidana mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali,
maka korban yang diwakili oleh penuntut umum pun memiliki hak yang sama. Asas
jusctice denied justice delayed menyatakan bahwa keterlambatan dalam
penyelesaian perkara seperti adanya putusan non-executable akibat
kesalah pengetikan, kehilafan hakim, salah mencantumkan pidana ataupun barang
bukti mengakibatkan keadilan menjadi tertunda karena jaksa tidak dapat
melaksanakan putusan pengadilan. Asas litis finiri oportes menempatkan
penyelesaian perkara harus ada akhirnya di mana berakhirnya suatu perkara
tidaklah pada saat hakim menjatuhkan putusan, akan tetapi pada saat jaksa telah
selesai melaksanakan putusan pengadilan. Lagi-lagi putusan non
executable mengakibatkan penanganan perkara berlarut-larut tidak
akhirnya. Oleh karena itu, agar akses keadilan juga berlaku sama terhadap
korban yang diwakili oleh penuntut umum dan penanganan perkara tidak
berlarut-larut karena putusan tidak dapat dieksekusi, maka untuk kepentingan
hukum, jaksa wajib melakukan upaya hukum peninjauan kembali agar kepentingan
para pencari keadilan (justicebelen) terpenuhi dan putusan pengadilan
dapat dilaksanakan.
Kedua,
yurisprudensi. Berbagai putusan peninjauan kembali yang mayoritas menganulir
putusan MA yang diajukan pemohon peninjauan kembali. Hal ini membuktikan bahwa
terdapat kebutuhan masyarakat khususnya para pencari keadilan (justicebelen)
terhadap hak jaksa untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam
putusan dicurigai dilatarbelakangi kejahatan.
Ketiga,
praktik hukum saat ini. Adanya putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non
executable). Meski putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jaksa
selaku eksekutor, tidak dapat melaksanakan eksekusi, khususnya terhadap barang
bukti padahal berdasarkan Pasal 197 huruf i KUHAP, barang bukti termasuk bagian
dari sebuah putusan. Sebagaimana asas litis finiri oportet yang
menyatakan bahwa setiap perkara harus ada penyelesaian akhirnya maka
penyelesaian perkara tidaklah terjadi pada saat putusan diucapkan, akan tetapi
selesainya perkara adalah sampai dengan putusan telah dilaksanakan. Berbagai
realitas di atas membuktikan bahwa adanya kekhilafan hakim dalam memutus
perkara sehingga putusan tidak dapat dilaksanakan oleh Jaksa selaku eksekutor.
Hal ini tentunya pelanggaran terhadap asas litis finiri oportet.
Begitupun dengan penyelesaian perkara menjadi tertunda sehingga keadilan pun
tertunda sebagaimana dimaksud asas justice delayed justice denied.
Hak untuk
melakukan upaya hukum PK sudah seharusnya dimiliki oleh jaksa selaku
pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Tujuan upaya hukum PK yang
dilakukan oleh jaksa adalah untuk kepentingan negara dan bukan kepentingan
pribadi. Tujuan PK oleh jaksa adalah apabila putusan mengandung kekhilafan
hakim sehingga putusan tidak dapat dilaksanakan ataupun memang putusan hakim
tersebut dinilai tidak adil. Penggunaan upaya hukum PK harus dipergunakan
secara hati-hati dan terukur serta diawasi dengan ketat, karena akan menguji
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Bagaimanapun, "Hukum
dibuat untuk masyarakat dan bukan sebaliknya hukum dibuat untuk hukum. Apabila
hukum yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka hukumnya yang
harus diubah dan bukannya masyarakat yang dipaksa-paksa harus sesuai dengan
hukum." (Sajipto Rahardjo)
Citation (cara mengutip):
Muh. Ibnu Fajar Rahim, "Menghidupkan Kembali Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Upaya Hukum PK", dalam halaman web, diakses pada tanggal/bulan/tahun.
Pengantar
Para akademisi dan praktisi hukum tentunya mengetahui
siapakah yang berhak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016. Yes,
putusan MK tersebut membatasi upaya hukum PK hanya dapat digunakan oleh
terpidana dan ahli warisnya dan sekaligus menghilangkan kewenangan jaksa dalam
mengajukan PK. Putusan MK tersebut merupakan putusan final dan mengikat serta
bersifat erga omnes yaitu berlaku sebagai undang-undang.
Putusan MK ini memang mengguncangkan praktik penegakan hukum di tanah air. Karena, dalam praktiknya, sebelum putusan MK, Mahkamah Agung (MA) pernah menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas dan MA dalam putusan peninjauan kembalinya menerima permohonan jaksa dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa sebagai berikut:
- Perkara Muchtar Pakpahan melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 55PK/PID/1996 tanggal 25 Oktober 1996. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
- Perkara Ram Gulumal alias V. Ram atau The Gandhi Memorial School melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 3PK/PID/2001 tanggal 2 Agustus 2001. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara 20 (dua puluh) hari.
- Perkara Soetiyawati alias Ahua Binti Kartaningsih melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006. Majelis PK membatalkan putusan MA yang memutus perbuatan terdakwa onslaught dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
- Perkara Pollycarpus Budihari Priyanto melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008. Majelis PK membatalkan putusan MA yang menghukum terdakwa 14 tahun penjara menjadi 20 tahun penjara.
- Perkara Syahril Sabirin melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 07PK/Pid.Sus/2009 tanggal 8 Juni 2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun penjara.
- Perkara Joko Soegiarto Tjandra melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun penjara.
- Perkara Nyau Saodak melalui Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 41PK/Pid/2009. Majelis PK membatalkan putusan MA yang membebaskan terdakwa dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
0 comments:
Posting Komentar